Jakarta – Dalam perjalanan panjang beragam pemikiran keislaman, diskursus mengenai hukum menggunakan cadar dalam Islam tak pernah surut, terlebih di era modern ini. Diskusi ini mencakup berbagai aspek mulai dari pandangan ulama tentang cadar hingga pertanyaan praktis seperti, “Apakah makruh memakai cadar saat salat?” atau “Bagaimanakah pandangan mazhab tertentu mengenai penggunaan cadar?” Tak dapat dipungkiri, wajah dan aurat perempuan dalam Islam merupakan jalur diskursus yang sering kali mengundang interpretasi dan implementasi yang beragam.
Cadar, sebagai elemen pakaian muslimah, adalah manifestasi dari syariat penutupan wajah yang đitafsirkan berbeda oleh para ulama. Mulai dari sebagai kepatuhan berhijab, hingga dipertanyakan relevansinya dalam konteks adat kebudayaan dan hijab. Di Indonesia, penggunaan cadar diterima dengan corak yang khas, sesuai dengan konsep “Madzhab Cadar” yang telah diadopsi di beberapa kelompok.
Sejarah cadar tidak lepas dari tafsir beberapa ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan hijab. Di beberapa wilayah dan era, cadar menjadi bagian integral dari tradisi dan kepercayaan, sedangkan di era lain, debat fiqih tentang cadar mengemuka dengan ragam pandangan. Di tengah keberagaman ini, ada pandangan yang menyebutkan bahwa dalam kondisi tertentu, “makruh memakai cadar saat salat” karena dikhawatirkan dapat mengganggu konsentrasi beribadah.
Lebih jauh, pandangan mazhab tentang aurat terbilang beragam. Megaskan bahwa “Niqab adalah pakaian yang dapat dipakai sebagai bentuk taqwa, tapi tidak secara mutlak menjadi syarat berhijab yang disyariatkan dalam Islam,” ujar salah satu ulama terkemuka. Dalam mazhab Hanafi, misalnya, wajah tidak dianggap sebagai aurat dan oleh karenanya menutupnya tidak wajib—sebuah pandangan kontras dengan yang dipegang oleh mazhab-mazhab lain seperti Hanbali yang cenderung lebih menganjurkan penukupan wajah.
Penerapan hukum menggunakan cadar dalam Islam pun tampaknya bernuansa fleksibilitas dan individualitas, mengacu pada konteks sosial dan kebutuhan serta mengelakkan potensi kemudharatan yang mungkin timbul. Di tengah pemikiran pluralitas dalam komunitas Muslim, banyak yang mengadvokasi pembelajaran mendalam tentang posisi cadar dalam tradisi dan hukum Islam untuk mendapatkan pemahaman yang lebih holistik.
Di Indonesia sendiri, tradisi menggunakan cadar seringkali dilihat sebagai ekspresi identitas keislaman yang khas. Namun demikian, hal ini tidak luput dari perdebatan mengenai kesesuaian penggunaan cadar dengan kebudayaan lokal serta perspektif keagamaan yang berbeda. Di sini, “tradisi cadar” tercermin bukan hanya sebagai elemen berhijab, tetapi juga sebagai simbol seperangkat keyakinan.
Dapat disimpulkan bahwa hukum menggunakan cadar dalam Islam merupakan topik yang kompleks dan dinamis. Kekayaan wawasan dan kontemplasi sudah sepatutnya beriringan untuk menjunjung tinggi prinsip syariat, sembari menghormati kearifan lokal dan variasi praktik keberagamaan. Terbuka bagi umat Islam untuk mendekati isu ini dengan sikap yang introspektif dan inklusif, dalam bingkai keberagaman yang menjadi ciri umat manusia.