Medialontar.com – Otoritas kesehatan Kongo bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tengah melakukan investigasi mendalam terkait wabah penyakit misterius yang telah dilaporkan di Provinsi Equateur. Berdasarkan laporan terbaru, lebih dari 1.000 kasus telah teridentifikasi, dengan 141 kasus di antaranya terjadi di zona kesehatan Kota Basankusu. Wabah ini pertama kali muncul pada awal Februari, dengan total 158 kasus dan 58 kematian.
Sebelumnya, pada Januari 2025, Desa Bolamba juga mencatat 12 kasus serupa dengan delapan kematian. Situasi ini mengingatkan pada wabah yang terjadi pada September 2024, yang kala itu disebut sebagai “Penyakit X” sebelum WHO mengidentifikasinya sebagai kombinasi infeksi pernapasan akut yang dipicu oleh malaria dan malnutrisi. Dugaan awal menunjukkan kemungkinan bahwa wabah terbaru ini disebabkan oleh patogen serupa, tetapi masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan penyebabnya.
Upaya Identifikasi Penyebab Penyakit
Hingga saat ini, tim medis tengah melakukan serangkaian uji laboratorium guna mengidentifikasi sumber penyakit. Hasil awal menunjukkan bahwa penyakit ini bukan Ebola atau Marburg, sementara setengah dari pasien yang diuji dinyatakan positif mengidap malaria.
“Kami masih belum puas dengan proses pengambilan sampel, sehingga dua ahli epidemiologi WHO telah diterjunkan ke lokasi untuk mengawasi prosesnya,” ujar Margaret Harris, juru bicara WHO, kepada DW News. Sampel tersebut kemudian dikirim ke laboratorium di Kinshasa untuk analisis lebih lanjut.
Selain menguji kemungkinan adanya meningitis, para peneliti juga mendalami dugaan kontaminasi racun sebagai faktor pemicu wabah. Direktur keadaan darurat WHO, Mike Ryan, menyebutkan bahwa beberapa gejala yang diamati mengarah pada indikasi keracunan. “Kami mendeteksi beberapa tanda yang mirip dengan gejala keracunan,” ungkapnya kepada awak media.
Gejala dan Potensi Penyebaran Penyakit
Penyakit misterius ini menunjukkan beragam gejala yang mencakup demam tinggi, sakit kepala, menggigil, berkeringat, kaku di leher, nyeri otot dan sendi, batuk, muntah, serta diare. Dengan banyaknya gejala yang muncul, proses diagnosis menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu, diperlukan analisis sampel biologis lebih lanjut untuk menentukan penyebab pasti penyakit ini.
Laporan awal menyebutkan bahwa kasus pertama ditemukan pada sekelompok anak-anak yang diduga mengonsumsi kelelawar. Meski demikian, hubungan antara konsumsi kelelawar dengan wabah ini masih belum dapat dikonfirmasi. Kelelawar sendiri dikenal sebagai reservoir alami bagi berbagai patogen berbahaya, sehingga WHO menyarankan masyarakat untuk menghindari kontak dengan hewan yang mati.
Terdapat kekhawatiran bahwa wabah ini dapat menyebar lebih luas, terutama mengingat kondisi infrastruktur kesehatan Kongo yang terbatas. Pengalaman dalam menangani wabah Mpox dan Ebola di masa lalu diharapkan dapat membantu otoritas kesehatan dalam merespons situasi ini secara efektif.
Jika penyebab penyakit ini terbukti berasal dari patogen baru, maka langkah pencegahan dan strategi mitigasi perlu segera ditingkatkan. WHO dan otoritas kesehatan setempat terus bekerja sama untuk mengidentifikasi metode penularan serta merancang strategi penanganan guna menekan dampak wabah ini terhadap masyarakat luas.
Pemerintah dan tim kesehatan mendesak masyarakat untuk tetap waspada serta mengikuti anjuran kesehatan guna mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut. Investigasi masih berlangsung, dan hasil lebih lanjut diharapkan dapat memberikan kejelasan mengenai penyebab serta langkah terbaik untuk mengatasi wabah ini.