Medialontar.com – Jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Hingga 13 April 2025, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat sebanyak 38.740 kasus DBD dengan 182 kematian. Lonjakan ini terjadi hanya dalam kurun waktu kurang dari empat bulan, menandakan bahwa ancaman dengue masih sangat nyata.
Meski angka tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun 2024, Kemenkes menegaskan bahwa situasi ini tetap patut diwaspadai. Penyakit DBD, yang telah lama menjadi bagian dari masalah kesehatan masyarakat, belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyampaikan bahwa selama lebih dari lima dekade terakhir, demam berdarah masih menjadi salah satu tantangan kesehatan utama di Indonesia. Hal ini diungkapkan dalam acara media briefing yang digelar di Jakarta, Rabu (23/4).
Salah satu faktor yang turut memperparah situasi adalah kesalahpahaman masyarakat mengenai pola penyebaran dengue. Selama ini, banyak yang menganggap DBD hanya muncul saat musim hujan. Namun, Kemenkes menegaskan bahwa anggapan tersebut tidak sesuai dengan kondisi epidemiologi di Tanah Air.
“Indonesia termasuk negara dengan status hiper-endemik dengue. Artinya, penularan bisa terjadi sepanjang tahun, tanpa mengenal musim,” ujar Fadjar SM Silalahi, Ketua Tim Kerja Arbovirosis Kemenkes RI.
Untuk mengantisipasi peningkatan kasus, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/C/466/2025. Surat ini bertujuan meningkatkan kewaspadaan dini terhadap penyebaran DBD dan Chikungunya di berbagai daerah.
Menurut Fadjar, penanganan DBD tidak bisa menunggu hingga kasus mencapai puncaknya. Tindakan pencegahan harus dilakukan sedini mungkin. Ia juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat agar tidak menganggap remeh gejala demam berdarah.
“Masyarakat sering mengira bahwa dengue hanya penyakit demam biasa yang bisa sembuh dengan obat warung. Padahal, risikonya jauh lebih besar,” jelasnya.
Ia menyebut bahwa DBD dapat menyebabkan komplikasi serius seperti dengue shock syndrome, perdarahan hebat, bahkan kematian. Risiko tersebut paling tinggi dialami oleh anak-anak, lansia, dan individu dengan sistem imun yang lemah.
Sampai saat ini, belum tersedia obat khusus untuk menyembuhkan dengue. Oleh karena itu, langkah paling efektif adalah dengan melakukan pencegahan melalui pemberantasan sarang nyamuk, penggunaan kelambu, serta menjaga kebersihan lingkungan.
Kemenkes berharap masyarakat lebih aktif dalam upaya pencegahan, termasuk dengan menerapkan 3M: menguras, menutup, dan mendaur ulang wadah yang berpotensi menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti.
Dengan meningkatnya kesadaran publik dan koordinasi lintas sektor, pemerintah optimis angka kasus dapat ditekan. Namun, tanpa dukungan masyarakat secara luas, upaya tersebut tidak akan maksimal.
Ancaman DBD di 2025 masih membayangi. Oleh karena itu, kewaspadaan dan tindakan cepat menjadi kunci untuk melindungi kesehatan bersama.