Pagi itu matahari belum terbit sepenuhnya. Dengan sepeda motornya, Letda Kuspriadi harus segera berangkat menuju lokasi dinasnya di Cikole, Lembang.
Belum jauh dari rumah, telepon genggamnya berdering. “Pak kami dari Batlyon Semarang, ijin meminta alamat Pratu Roy,” kata seseorang di balik suara tersebut. Saat itu waktu menunjukkan pukul 05.50 WIB.
Pengalamannya sebagai tentara membuat pertanyaan itu bukan lah pertanyaan biasa, itu menandakan sesuatu yang tidak beres. Ia pun mencoba mencari sumber informasi yang lebih detail.
Benar saja, usai Pratu Roy melaksanakan solat subuh dan kemudian membersihkan halaman, markasnya diserang, Jumat (22/1) pagi. Mereka diserang oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Markas tersebut berada di perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini. Lebih tepatnya di Pos Titigi Yonif Raider 400/ Banteng Raiders, Kampung Titigi, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua.
“Sekitar 40 menit kemudian anak saya dikabarkan almarhum (meninggal dunia),” tutur Kurspriadi yang sedari pagi duduk termenung menunggu kedatangan sang anak tercinta.
Sembari menahan tangis, ia melanjutkan ceritanya. Pratu Roy merupakan sosok yang tidak pernah lepas dari solat lima waktu. Ia pun dikenal pendiam dan peduli terhadap keluarganya.
“Alhamdulillah anak dia anaknya tidak pernah meninggalkan solat,” kata Kuspriadi.
Sebelum berangkat ke Papua, Pratu Roy bersama keluarga sempat pergi jalan-jalan bersama ke Semarang. Ia pun pamit untuk berangkat, hanya dua minggu sekali ia memberikan kabar kepada keluarga.
“Dia anak kesayangan mamahnya. Dia anak yang jujur,” tutur Kurspriadi mengenang anak pertamanya itu.
Ia pun memiliki prestasi yang cukup mentereng di mana sempat ditugaskan di Libanon dalam tugas pengamanan bersama PBB. Setelah satu tahun di sana, ia pun kembali bertugas dan tugas terakhirnya adalah di ujung timur Indonesia.
“Dia sempat ditugasin setahun di Libanon, abis itu kembali ke maskasnya di Semarang, kemudian Agustus berangkat ke Papua, sampai sana September,” terangnya.