Padang – Kasus dugaan penyimpangan anggaran penanganan COVID-19 sebesar Rp 150 miliar di Sumatera Barat terus berlanjut. Terbaru, polisi pun turun tangan menelusuri kasus ini.
Kasus dugaan penyimpangan anggaran penanganan COVID-19 ini berawal dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI pada 28 Desember 2020 lalu. Ada dua laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang diberikan BPK.
Pertama adalah LHP Kepatuhan atas Penanganan Pandemi COVID-19. Kedua adalah LHP atas Efektivitas Penanganan Pandemi COVID-19 Bidang Kesehatan tahun 2020 pada pemprov Sumbar dan instansi terkait lainnya.
Dalam LHP Kepatuhan, BPK menyimpulkan beberapa hal. Di antaranya indikasi pemahalan harga pengadaan cairan pembersih tangan (hand sanitizer) dan transaksi pembayaran kepada penyedia barang dan jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan dan berpotensi terjadi penyalahgunaan.
Dalam laporannya, secara keseluruhan, BPK mencatat ada temuan dugaan penyimpangan Rp 150 miliar dari total anggaran yang dialokasikan untuk penanganan COVID-19 yang mencapai Rp 490 miliar. Dari jumlah tersebut, salah satunya pengadaan cairan pembersih tangan atau hand sanitizer yang bernilai Rp 49 miliar.
DPRD pun kemudian membentuk panitia khusus yang untuk menelusuri LHP tersebut sejak 17 Februari 2021. Bekerja dalam sepekan, pansus kemudian mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang kemudian diakomodasi oleh DPRD secara kelembagaan.
Berikut isi rekomendasinya:
1. Dalam rangka pengadaan hand sanitizer ukuran 100 ml da 500 ml menurut LHP BPK RI terjadi pemahalan harga yang mengakibatkan kerugian daerah senilai Rp. 4.847.000.000,- dan kekurangan volume pengadaan logistik kebencanaan (masker, thermo gun, dan hand sanitizer) senilai Rp. 63.080.000,-. Kerugian daerah tersebut terjadi pada sebagian paket pekerjaan saja, sedangkan masih banyak paket lainnya yang belum dibuktikan oleh BPK RI apakah terjadi kejadian yang sama berupa pemahalan harga atau kekurangan volume pekerjaan. Pansus menduga tidak tertutup kemungkinan hal yang sama juga terjadi pada paket pekerjaan lainnya di BPBD. Oleh sebab itu Pansus merekomendasikan kepada DPRD Provinsi Sumatera Barat supaya meminta kepada BPK RI untuk melanjutkan pemeriksaan terhadap paket pekerjaan yang belum sempat diperiksa oleh BPK RI Perwakilan Sumatera Barat.
2. Transaksi pembayaran kepada penyedia barang/jasa menurut BPK Ri tidak sesuai ketentuan. Bendahara dan Kalaksa BPBD melakukan pembayaran tunai kepada Penyedia sehingga melanggar instruksi Gubernur No. 02/INST-2018 tanggal 23 Januari 2018 Tentang Pelaksanaan Transaksi Non Tunai (Transaksi Non Cash). Akibat transaksi tunai yang dilakukan tersebut terindikasi potensi pembayaran sebesar Rp. 49.280.400.000,- tidak bisa diindentifikasi penyedianya. Oleh sebab itu Pansus merekomendasikan kepada DPRD Provinsi Sumatera Barat supaya meminta kepada BPK RI untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap aliran dana sebesar Rp. 49.280.400.000,- tersebut.