Jakarta – Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang membolehkan vaksin AstraZeneca meski mengandung tripsin dari babi menjadi sorotan masyarakat. Sekjen PBNU Ahmad Helmy Faishal Zaini membandingkan fatwa terkait vaksin AstraZeneca itu dengan bahan baku cuka hingga air minum.
“Dalam konteks vaksin AstraZeneca, sebetulnya kita bisa menyebut contoh dalam istilah itu adalah khamr, kalau kita diamkan, akan menjadi cuka,” ujar Faishal dalam program d’Rooftalk bertema ‘Hukum Darurat Vaksin AstraZeneca’ di detikcom, Selasa (23/3/2021).
Kemudian, Faishal mengambil contoh mengenai praktik pembuatan batu bata yang bahan bakunya berasal dari kotoran sapi, yang merupakan sesuatu yang najis. Meski begitu, batu bata itu, kata Faishal, bisa digunakan untuk rumah, sekolah, hingga tempat ibadah.
“Yang paling sederhana menjelaskan situasi ini adalah proses penyulingan dari air comberan, air got, kemudian berubah menjadi air minum. Di kota-kota besar, di negara-negara maju, karena nggak ada sumber mata air,” lanjutnya.
Kembali ke konteks vaksin AstraZeneca, Faishal menerangkan hukum penggunaan vaksin AstraZeneca sama seperti penggunaan batu bata, cuka, hingga air minum tersebut. Dia menekankan asas manfaat dari suatu benda saat digunakan.
Dia mengatakan vaksinasi COVID-19 sangat diperlukan dalam tujuan membentuk kekebalan tubuh secara komunal sehingga Indonesia bisa keluar dari situasi pandemi. Dia juga meminta masyarakat tidak ragu soal kehalalan vaksin.
“Vaksin AstraZeneca hukumnya apa? Sama pertanyaannya, batu bata itu benda najis atau benda yang suci? Atau cuka itu sesuatu yang haram atau halal? Atau air minum mungkin di PDAM-lah, yang sudah proses suling tadi itu apakah sesuatu yang najis atau suci?” terangnya.
Faishal mengingatkan bahwa ulama-ulama NU di Jawa Timur sudah menyatakan vaksin AstraZeneca. Bahkan mereka sudah menjalani vaksinasi menggunakan vaksin AstraZeneca.
“Para ulama mendengarkan para ahli sebelum menyampaikan pendapat keagamaan. Dan pendapat tersebut dikeluarkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, MUI telah mengeluarkan fatwa terkait vaksin COVID-19 AstraZeneca. MUI menyatakan vaksin AstraZeneca boleh digunakan dalam situasi darurat.
Berikut ini 5 alasan MUI:
1. Ada kondisi kebutuhan yang mendesak atau hajah assyariyah di dalam konteks fikih yang menduduki kedudukan darurat syari atau dhoruroh syariyah.
2. Ada keterangan dari ahli dari yang kompeten dan terpercaya tentang bahaya atau risiko fatal jika tidak segera dilakukan vaksinasi COVID-19.
3. Ketersediaan vaksin COVID-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi COVID-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok atau herd immunity.
4. Ada jaminan keamanan penggunaannya oleh pemerintah sesuai dengan penjelasan yang disampaikan pada saat rapat komisi fatwa.
5. Pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih vaksin COVID-19 mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia, baik di Indonesia maupun di tingkat global.
MUI menyatakan kebolehan penggunaan vaksin produk AstraZeneca ini tidak berlaku lagi jika alasan di atas hilang. MUI mendorong pemerintah terus menyediakan vaksin yang halal dan suci.
Indonesia telah mendapatkan 1,1 juta vaksin AstraZeneca produksi Korea Selatan melalui jalur multilateral, yakni fasilitas COVAX. Setelah sempat menangguhkan distribusi vaksin AstraZeneca, BPOM kini memutuskan vaksin AstraZeneca lebih besar manfaatnya untuk masyarakat.
BPOM menegaskan vaksin AstraZeneca yang diterima di Indonesia melalui COVAX facility diproduksi di Korea Selatan dengan jaminan mutu sesuai standar persyaratan global untuk Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
“Badan POM RI bersama Kementerian Kesehatan dan KOMNAS PP KIPI terus memantau keamanan vaksin yang digunakan di Indonesia dan menindaklanjuti isu setiap kejadian ikutan pasca-imunisasi,” papar BPOM.
(isa/jbr)