Medialontar.com – Kasus keterlambatan diagnosis diabetes tipe 1 pada anak di Indonesia masih menjadi persoalan serius. Data terbaru menunjukkan, tujuh dari sepuluh anak baru diketahui menderita penyakit ini setelah masuk dalam kondisi darurat medis. Situasi tersebut mengindikasikan masih lemahnya deteksi dini di layanan kesehatan.
Diabetes tipe 1 merupakan penyakit autoimun yang membuat tubuh tidak mampu memproduksi insulin sama sekali. Tanpa insulin, kadar gula darah akan meningkat tajam dan memicu komplikasi berbahaya. Salah satu kondisi yang paling mengkhawatirkan adalah ketoasidosis diabetik (KAD). Gejala KAD dapat berupa muntah, sesak napas, hingga penurunan kesadaran. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini berpotensi menyebabkan kematian.
Perbandingan dengan negara lain menunjukkan kesenjangan besar. Di wilayah dengan sistem kesehatan yang kuat, keterlambatan diagnosis hingga KAD biasanya terjadi kurang dari 20 persen. Artinya, angka 70 persen di Indonesia mencerminkan adanya masalah mendasar dalam sistem deteksi dini maupun pemahaman mengenai penyakit ini.
Kendala lain datang dari rendahnya pengetahuan masyarakat dan sebagian tenaga medis mengenai diabetes tipe 1 pada anak. Gejala awal sering disalahartikan dengan penyakit lain. Banyak pasien awalnya diduga mengalami asma, radang usus buntu, atau pneumonia. Dalam kasus tertentu, ada anak yang sampai menjalani operasi usus buntu sebelum akhirnya dipastikan menderita diabetes tipe 1. Kesalahpahaman ini menunda penanganan dan meningkatkan risiko komplikasi.
Perlu dipahami, diabetes tipe 1 berbeda dengan diabetes tipe 2. Tipe 2 umumnya berkaitan dengan gaya hidup tidak sehat maupun faktor keturunan. Sebaliknya, diabetes tipe 1 dipicu oleh gangguan autoimun yang bisa terjadi setelah infeksi virus. Kondisi ini memaksa pasien bergantung penuh pada insulin sepanjang hidupnya. Tanpa akses insulin dan perawatan teratur, kualitas hidup anak akan sangat menurun.
Untuk menekan angka keterlambatan, sebuah program bernama Changing Diabetes in Children (CDiC) dilaksanakan di Indonesia. Program ini mendata anak-anak yang menderita diabetes tipe 1 serta memberikan akses insulin, peralatan pemantauan gula darah, dan edukasi menyeluruh bagi keluarga. Selain itu, pendampingan dilakukan agar anak tetap bisa menjalani aktivitas sehari-hari secara layak.
Tenaga kesehatan di lini pertama memiliki peran penting dalam upaya ini. Dokter umum diharapkan mampu mengenali gejala dini diabetes tipe 1 dan KAD. Dengan pemahaman tersebut, penanganan awal bisa segera dilakukan meskipun pasien belum dirujuk ke rumah sakit besar. Langkah cepat seperti pemberian insulin menjadi kunci untuk mencegah komplikasi fatal.
Kasus keterlambatan diagnosis ini menjadi pengingat pentingnya peningkatan kesadaran kolektif. Masyarakat perlu mengenali gejala diabetes tipe 1 pada anak sejak dini, sementara tenaga medis dituntut untuk terus memperbarui pengetahuan mereka. Tanpa kolaborasi semua pihak, angka keterlambatan akan sulit ditekan dan risiko kematian anak akibat KAD tetap tinggi.