Medialontar.com – Kepergian Paus Fransiskus pada Senin (21/4/2025) tidak hanya menyisakan duka mendalam bagi umat Katolik di seluruh dunia, tetapi juga meninggalkan kisah keteguhan luar biasa dalam menghadapi berbagai tantangan kesehatan sepanjang hidupnya. Paus ke-266 Gereja Katolik Roma ini tutup usia pada pukul 07.35 pagi waktu setempat setelah berjuang melawan pneumonia ganda yang dideritanya sejak awal tahun. Riwayat penyakit Paus Fransiskus menjadi catatan penting yang menunjukkan keteguhan dalam menghadapi kondisi tubuh yang terus melemah seiring usia.
Dilahirkan pada 17 Desember 1936 di Buenos Aires, Argentina, Jorge Mario Bergoglio — nama asli Paus Fransiskus — telah menghadapi gangguan kesehatan sejak masa mudanya. Pada usia 21 tahun, ia menjalani operasi pengangkatan sebagian paru-paru akibat radang selaput dada (pleuritis). Sejak itu, kondisi sistem pernapasannya menjadi perhatian utama selama hidupnya.
Masuk usia lanjut, serangkaian gangguan pernapasan terus menghampiri. Pada 2023, ia beberapa kali terserang influenza dan mengalami radang paru-paru. Ia sempat dirawat akibat bronkitis, namun pulih dengan cepat setelah mendapat antibiotik. Di penghujung tahun yang sama, ia membatalkan kunjungan ke Konferensi Iklim COP28 karena kondisi paru-parunya belum stabil. Awal 2025 menjadi masa kritis setelah ia didiagnosis pneumonia bilateral yang menyebabkan penurunan drastis pada kondisi fisiknya.
Selain masalah pernapasan, Paus Fransiskus juga menghadapi gangguan pada sistem pencernaan. Pada 2021, ia menjalani operasi besar untuk mengangkat sekitar 33 sentimeter usus besar akibat divertikulitis, yaitu infeksi yang menyebabkan peradangan pada saluran cerna. Dua tahun berselang, beliau kembali ke ruang operasi untuk penanganan hernia abdominal yang menyebabkan penyumbatan usus dan rasa sakit hebat.
Tidak hanya itu, ia juga hidup berdampingan dengan sciatica, yakni gangguan saraf yang menyebabkan nyeri menjalar dari punggung bawah hingga ke kaki. Kondisi ini semakin memburuk seiring usia dan membuatnya harus bergantung pada kursi roda serta tongkat. Meski begitu, semangatnya untuk melayani umat tidak pernah padam.
Pada awal 2025, tanda-tanda gagal ginjal mulai muncul. Kondisi ini menyebabkan kesulitan dalam menyaring racun dari darah, tetapi tetap dapat dikendalikan melalui pemantauan medis. Selain itu, ia juga pernah mengalami anemia dan harus menerima terapi hematin guna meningkatkan kadar hemoglobin agar suplai oksigen dalam tubuh tetap optimal.
Paus Fransiskus juga pernah terbuka mengenai kondisi kesehatan mental yang pernah ia hadapi. Pada masa mudanya di Argentina, ia sempat berkonsultasi dengan psikiater untuk mengatasi kecemasan yang muncul di tengah tekanan politik. Kejujuran ini memperlihatkan keberanian beliau dalam menyingkap sisi manusiawi dari seorang pemimpin spiritual.
Bahkan dua kali insiden jatuh pada 2024 dan 2025 menambah daftar panjang penyakit Paus Fransiskus yang harus ia hadapi dengan ketabahan luar biasa. Cedera pada lengan dan memar di dagu menjadi penanda rapuhnya tubuh di usia lanjut, namun tidak menggoyahkan tekad beliau dalam menjalankan peran penting di Vatikan.
Paus Fransiskus telah memberikan contoh bagaimana seseorang dapat tetap kuat dan berdaya meski dihimpit oleh berbagai penyakit. Riwayat kesehatannya bukan hanya catatan medis, tetapi juga simbol ketabahan, kesederhanaan, dan pengabdian yang tidak pernah pudar hingga akhir hayatnya.