Medialontar.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menuai sorotan publik usai laporan keracunan massal muncul di salah satu sekolah menengah pertama (SMP) di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kejadian ini menambah daftar kasus serupa yang sempat terjadi di berbagai wilayah, sehingga memicu kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan pelaksanaan program nasional tersebut.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyampaikan penyesalan atas insiden tersebut. Ia menegaskan bahwa lembaganya menargetkan pelaksanaan MBG berjalan tanpa adanya insiden yang merugikan peserta didik. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa risiko masih terjadi.
“Kami menyayangkan kejadian itu karena target kami adalah nol insiden. Meskipun jumlahnya kecil, kasus seperti ini tetap berdampak pada kepercayaan publik,” ujar Dadan saat ditemui di Jakarta Selatan, Selasa (5/8/2025).
Menanggapi berbagai laporan keracunan, BGN telah melakukan evaluasi menyeluruh, termasuk dalam aspek pendanaan dan teknis pelaksanaan. Menurut Dadan, salah satu penyebab kendala sebelumnya adalah sistem penggantian biaya (reimburse) yang membuat proses menjadi lambat dan berisiko. Kini, mekanisme pendanaan telah disederhanakan untuk mempercepat penyaluran dari BGN ke pelaksana SPPG.
Sebagai langkah konkret, BGN telah meningkatkan standar operasional prosedur (SOP), khususnya dalam proses memasak dan distribusi makanan. Dadan mengungkapkan bahwa beberapa penyedia makanan kini diminta memasak hanya beberapa jam sebelum pengiriman ke sekolah guna menjaga kesegaran dan keamanan makanan.
“Kalau pengiriman pukul 7 pagi, maka proses memasak dimulai pukul 4. Kami pastikan waktu tidak melebihi empat jam agar makanan tetap layak konsumsi,” jelasnya.
Namun demikian, Dadan menilai kasus di Kupang cukup janggal. Ia menyebut bahwa program MBG di sekolah tersebut telah dihentikan lebih dari seminggu sebelum insiden terjadi. Oleh karena itu, ia tidak meyakini bahwa keracunan disebabkan langsung oleh makanan dari program MBG.
“Sudah delapan hari program di sekolah itu dihentikan, tapi tetap terjadi keracunan. Jadi, bukan semata-mata MBG yang jadi penyebab,” katanya.
Dadan mengakui bahwa dua risiko utama dalam pelaksanaan program MBG adalah potensi penyalahgunaan anggaran dan risiko keracunan. Meskipun sistem keuangan telah dirancang agar sulit dimanipulasi, ia menilai aspek keamanan pangan lebih sulit dikendalikan karena melibatkan banyak tahapan mulai dari pemilihan bahan baku, proses pengolahan, hingga konsumsi oleh siswa.
“Kalau bicara jujur, saya lebih khawatir terhadap risiko keracunan karena rantainya panjang dan melibatkan banyak faktor, termasuk kondisi kesehatan anak,” tuturnya.
Ia juga menyinggung insiden di salah satu sekolah yang sempat menimbulkan kepanikan massal. Seorang siswa yang memang sedang sakit mengalami muntah, lalu memicu reaksi serupa dari siswa lain karena panik, bukan karena kualitas makanan.
“Bisa saja makanan aman, tapi kondisi anak yang sedang sakit membuat situasi tampak seolah-olah ada keracunan massal,” pungkasnya.
Dengan meningkatnya kasus seperti ini, BGN menegaskan komitmennya untuk terus memperbaiki sistem dan prosedur, guna memastikan program MBG bisa berjalan dengan aman, tepat sasaran, dan mendapat kembali kepercayaan masyarakat.